
Kamis, 18 Agustus 2011
Nasib Perahu Tambangan
Di era tahun 1950-an Samarinda sekarang ini sudah merupakan pusat pemerintahan setelah Pemerintahan Kesultanan Kutai beralih ke pemerintahan RI. Sebelumnya semasa Pemerintahan Kerajaan Kutai, pusat pemerintahan berkedudukan di Samarinda Seberang. Tetapi oleh pemerintah masa Belanda, secara perlahan disertai kekuatan militer dan perusahaan dagangnya, berbagai hal dialihkan ke Samarinda Kota, sehingga pusat pasar dan penduduk menjadi lebih banyak tinggal di Samarinda kini.
Pembangunan kota pun oleh Belanda dipusatkan di Samarinda yang dikuasainya baik kantor-kantor pemerintah, perdagangan jalan jalan beraspal, hingga tempat tinggal pejabat tinggi daerah yang disebut “ Resident “.
Ketika itu sarana utama transportasi masyarakat dari Samarinda Kota ke Samarinda Seberang hanyalah melalui “perahu tambangan“, yaitu sebuah perahu tanpa mesin yang dikayuh oleh dua awak perahu. Sejak jaman itu ramai para penduduk menjadi pengusaha atau pekerja perahu tambang masyarakat.
Pada tahun 50-an tersebut kapal kapal kecil untuk penyeberangan hanyalah dimiliki oleh segelintir orang kaya yang hanya dipergunakan secara pribadi. Kapal-kapal kecil milik orang kaya itupun adalah peninggalan pemerintah Belanda -- setelah resmi menyerahkan kedaulatan dan roda pemerintahan Belanda kepada Republik Indonesia.
Dulu ada ratusan perahu tambangan yang hilir mudik - seberang menyeberang – di mana pemilik maupun pekerja didominasi oleh orang-orang Bugis Samarinda Seberang. Tarif tiap kali menyeberang sekitar 50 rupiah per orang. Dan untuk menyeberang Sungai Mahakam, perahu hanya dikayuh oleh dua orang. Jadi, memerlukan waktu hampir setengah jam dengan isi perahu paling tidak lima hingga sepuluh orang.
Perahu yang terbuat dari kayu dengan diameter panjang delapan dan lebar satu setengah meter itu terlindung dengan atap perahu, agar penumpang tidak kepanasan dan kehujanan. Keberadaan perahu tambangan ini sangat dikenal hingga keluar daerah.
Pada waktu itu, sempat ada sebuah lagu atau nyanyian yang kalau tidak salah dikarang oleh almarhum Masdari Achmad atau yang lebih dikenal dengan panggilan nama “si Karut.” Dia adalah penyiar acara ’si Karut’ di RRI Samarinda yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Lagunya berjudul “ Tambangan belarut.” .
Perahu ’tambangan’ seringkali dimanfaatkan oleh para muda-mudi atau para pria hidung belang untuk berpacaran di dalam perahu. Perahu tambangan itu dicarter dengan hitungan jam mudik ke arah hulu sungai, yaitu ke arah Sungai Keledang dan kemudian belarut hingga ke Teluk Selili. Begitulah terus kerjaan si tambangan belarut ini. Dimana di saat belarut pengemudi dan pengayuh tambangan dengan santainya pula beristirahat tanpa perlu mengayuh.
Pada saat ’mudik’ jalannya perahu juga tidak boleh cepat-cepat. Perahu dikayuh dengan santai hingga batas yang ditentukan. Hal ini dilakukan untuk memperpanjang waktu bagi mereka yang berpacaran di dalamnya. Biaya sewa tambangan belarut ini pada waktu itu, yaitu untuk satu kali rit Sungai Keledang hingga Selili, bayarannya sekitar 5000 rupiah. Harga tersebut pada sekitar tahun 70, dimana ’dermaga’ keberangkatan perahu Samarinda kota dikenal dengan sebutan pelabuhan Batang Mesjid, sedang Samarinda Seberang berpusat di dermaga Batang H.Said Mucksin.
Waktu itu bergantung hidup sebagai pekerja perahu tambangan berpenghasilan cukup lumayan dan mampu menghidupi rumah tangga dan anak isteri. Rata rata pada tahun 70-an tersebut upah para penarik perahu tambangan ini berkisar sekitar 15 ribu rupiah perbulan. Dan uang gaji sebesar itu pada tahun tersebut cukup lumayan.
Namun sekarang karena teknologi sudah maju, selain kalah bersaing dengan kapal-kapal bermesin - juga yang membuat fatal para pekerja dan pengusaha perahu tambangan ini adalah telah dibangunnya jembatan penyeberangan, yaitu “Jembatan Mahakam I oleh Pemerintah Kaltim. Tujuannya memang jelas yaitu untuk kepentingan kelancaran transportasi ekonomi dan kebutuhan rakyat. Ini bukan bermaksud mematikan usaha tradisional tersebut, namun kemajuan zamanlah yang menuntut perubahan.
Ada berbagai pihak yang menginginkan agar perahu-perahu tambangan ini dilestarikan keberadaannya. Sudah tentu ini berkaitan dengan Dinas Pariwisata -- baik kota Samarinda maupun provinsi Kaltim. Sebaiknya perahu perahu tambangan ini dikoordinir dan dihimpun untuk dijadikan obyek wisata air.
Setiap perahu diberi hiasan dan dibuat begitu rupa hingga bersih dan menarik minat pengguna jasa. Dengan demikian nostalgia “Tambangan belarut “ tempo doeloe dapat kembali dinikmati oleh para generasi muda atau masyarakat Samarinda yang pada dasarnya masih kekurangan obyek wisata. Apalagi wisata air yang hingga kini belum ada.
Seperti dalam syair lagu ”Tambangan Belarut”; “...Tambangan belarut sayang besampung bengkok. Nang dihaluan sayang, duduk maungut, nang diburitan sayang takantuk kantuk.” Benar saja ungkapan syair tersebut. Karena balarut atau berhanyut mengikuti bawaan arus Mahakam pastilah jadi terkantuk kantuk akibat diterpa semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi pada perahu tambangan tersebut .
Perahu tambangan ini adalah merupakan kebutuhan pokok para pelajar setingkat SLTP & SLTA tempo dulu. Karena di Samarinda Seberang sekolah yang ada hanya sampai pada tingkat SD atau dulu disebut sebagai (SR) Sekolah Rakyat. Tercatat dalam sejarah yang menggunakan jasa perahu tambangan ini ada dua pelajar yang menjadi Walikota Samarinda yaitu Waris Husain dan Achmad Amins.
Sebenarnya patut penjadi pemikiran para investor kepariwisataan untuk berpaling ke arah perahu tambangan “nostalgia“ ini. Dan bagi masyarakat yang berumur limapuluh tahun ke atas, keberadaan perahu tambangan berhias adalah suatu kenang kenangan masa lalu ketika mereka masih remaja. Tentu diantara mereka ada yang berpengalaman mempergunakan tambangan belarut pada waktu berpacaran. Namun bukan tidak mungkin dengan keberadaan tambangan wisata ini bisa menjadi salah satu mata usaha di samping melestarikan kenangan Samarinda Tempo Doeloe.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar